The Antagonist [Chapter 6]

ps-dyocta-the-antagonist(2)

The Antagonist

by

Dyocta

Main casts: f(x)’s Sulli, EXO’s Baekhyun, EXO’s Chanyeol || Supporting casts: Girl’s Day’s Yura, Shin Min-Ah & others || Genre: School-life, friendship & Romance || Length: Chaptered.

credit: prinsekai94 on Poster State.

[Chapter 6]

 

“Aku akan ada di lantai bawah. Kalau ada apa-apa kau bisa memanggilku.” kata Baekhyun setelah mengantar Sulli ke kamarnya. Gadis itu sudah diperbolehkan pulang setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit.

Sulli mengangguk. Masih terpesona dengan tingkah manis Baekhyun yang menggendongnya ke lantai dua, mengecek balutan perban di kakinya dan menutupi kakinya dengan selimut sebelum pergi.

“Aku pergi dulu.”

“Baekhyun,” Sulli memanggil Baekhyun ketika ia sudah sampai diambang pintu. “Kesini sebentar,” pinta Sulli belakangan.

Sulli terduduk di ranjangnya dengan Baekhyun berada di hadapannya. Mata Baekhyun berkedip beberapa kali, bibirnya terkatup rapat, hidungnya mancung, alisnya menawan, rambutnya agak berantakan. Wajahnya merupakan ciptaan Tuhan yang paling sulit dijelaskan.

“Wae?”

“Sst! Jangan berisik!” Sulli menaruh jari telunjuknya didepan bibir Baekhyun. Baekhyun nampak terkejut, kemudian Sulli menjelaskan, “Kau bilang aku bisa memanggilmu jika aku memerlukan sesuatu,”

“Iya, memang. Lalu apa yang kau butuhkan?”

“Aku butuh kau.”

Mendadak suasana menjadi berat. Dan hangat. Tapi manis.

 

-o-

 

“Ibu, apa aku cantik?”

“Iya, sangat cantik. Sulli paling cantik saat memakai baju ballet.”

“Yang benar? Kalau begitu aku mau pakai baju ini terus.”

Jari-jemari Sulli menari diantara lipatan-lipatan pakaian balletnya yang merah muda. Serat-seratnya yang halus dan lembut mengingatkannya pada sosok ibu kandungnya. Ia masih ingat saat-saat dimana ia berdiri didepan cermin dengan pakaian itu menempel di tubuhnya. Serta masih teringat jelas pujian yang dilontarkan ibunya seminggu sebelum beliau dipanggil Tuhan.

Ia tergelak mengingat masa kecilnya. Ada berjuta kenangan manis yang terkunci dalam kotak memorinya, yang sebelumnya tidak terjamah tapi tidak tahu kenapa, saat ini, ketika ia mulai mengemasi seluruh pakaian balletnya dalam sebuah kotak kardus, semua ingatan itu mencuat dan menyiksanya sedikit.

“Ibu mau kemana? Ibu bilang Ibu mau lihat aku menari ballet tapi mengapa pergi?”

“Sebentar saja, Ibu tidak akan lama. Ibu berjanji. Sekalipun Ibu tidak ada, Sulli akan tetap menampilkan yang terbaik, kan? Sulli mau berjanji pada Ibu?”

“Ya.”

Disela gelak tawanya, sebulir air bening mengalir di pipinya yang kemudian cepat-cepat diseka olehnya masih dalam keadaan tergelak. Butiran lain menyusul keluar dari peraduaannya dan begitu seterusnya hingga Sulli lelah menghapusnya dan melepasnya. Gelak tawa itu kemudian berubah menjadi haru yang tidak tertahan.

.

Sulli telah selesai mengemasi pakaian-pakaian bekasnya itu ketika Min-Ah memanggilnya untuk makan siang. Ia berdiri diambang pintu, menatap bingung kotak kardus di pojok ruangan.

“Perlu bantuan?” tanya Min-Ah ketika melihat Sulli melangkah dengan terpincang-pincang.

“Aku bisa sendiri.” tolaknya halus.

“Kau akan membuangnya? Pakaian dan sepatu balletmu?” ternyata Min-Ah melihat seutas tali merah muda dari dalam kotak. Ia tahu betul tali itu berasal dari sepatu balletnya.

Sulli mengangguk cepat. “Kalau sudah tidak bisa dipakai, kenapa harus kusimpan?!”

“Untuk dikenang, mungkin.” celetuk Min-Ah.

“Semua yang harus dikenang sudah aku ingat disini.” Sulli mengetukkan jari telunjuknya pada keningnya kemudian tersenyum.

Shin Min-Ah tersenyum bangga. Setelah ini, setelah barang-barang itu hilang, menurutnya, besar kemungkinan Sulli akan menjadi lebih bijaksana dan tidak berlarut-larut dalam kejadian ini.

“Sudah selesai? Ayo kita makan siang! Aku sudah menyiapkan makanan kesukaanmu.” Min-Ah mengulurkan tangannya, menunggu untuk dijabat oleh Sulli.

“Ayo!” dan Sulli menjabatnya, berlari ke dalam pelukan Min-Ah.

Perkataan Chanyeol waktu itu terngiang di telinganya. Disekitarnya ada begitu banyak orang yang perduli padanya, yang senantiasa akan membantunya melupakan mimpi lamanya dan menyambut mimpi baru. Satu diantara orang itu adalah Min-Ah, wanita yang paling dicintainya selain ibu kandungnya.

Bicara mengenai mimpi baru, Sulli teringat amplop cokelat yang ditinggalkan Qian ketika datang berkunjung kemarin. Wanita berusia tiga puluh tahun itu datang menjenguknya sekaligus membawa kabar tidak menyenangkan.

Berita mengenai kecelakaan yang dialami Sulli sudah sampai di telinga kepala sekolah, juga berita mengenai ia yang kehilangan kemampuan balletnya. Kepala sekolah pun mengirim Qian untuk menyampaikan maksud baiknya. Dalam kasus biasa, seorang murid yang tidak bisa menari akan dikeluarkan dari sekolah tanpa kesempatan kedua tapi berhubung Sulli adalah salah satu murid yang membanggakan, beliau akhirnya memberi pilihan lain; Sulli akan tetap bisa bersekolah disana tapi ia harus pindah dari bidang tari.

Seperti yang diketahui, ada tiga departemen seni di sekolahnya, yaitu musik, tari dan seni peran. Jika Sulli masih ingin tetap bersekolah disana, maka ia harus memilih apakah ia akan masuk departemen seni musik atau seni peran, mengingat ia tidak bisa menari lagi.

“Bu, aku sudah memikirkannya,” Sulli membuka percakapan ketika mereka menuruni tangga berdua. “Mengenai perpindahanku, aku ingin masuk seni musik saja.” ungkapnya penuh keyakinan.

“Seni musik? Tapi bukannya kau tidak bisa main alat musik?”

Sulli menggembungkan pipinya. “Aku bisa main piano, Bu.” katanya manja.

“Hei, kau hanya bisa memainkan satu lagu saja. Apa itu yang kau sebut bisa bermain piano?” Min-Ah memperingatkan.

“Baekhyun bisa mengajariku nanti,”

“Hm, dasar anak Ibu! Kau mencari-cari kesempataan supaya bisa bersama Baekhyun, iya kan?”

Sulli tergelak. Ia tertangkap basah oleh Min-Ah.

“Jika itu yang kau mau, lakukan saja. Aku akan mendukungmu meski sebenarnya pendapatku berkata yang sebaliknya,”

“Jadi Ibu ingin aku masuk departemen seni peran?”

Min-Ah meluruskan, “Aku hanya berpikir kalau akan lebih mudah untukmu masuk kesana. Lagipula ini adalah tahun terakhirmu di SMU, sepertinya akan sulit kalau kau mulai belajar musik lagi,”

Sulli mengangguk-anggukan kepala. Ia seperti menimbang-nimbang pendapat Min-Ah. Sejujurnya ia sempat berpikir seperti itu semalam tapi tekadnya untuk bersama Baekhyun sangat tinggi, rasanya cukup tinggi hingga ia berkeyakinan bahwa ia akan bisa menguasai tiga jenis instrumen dalam sebulan.

“Tapi kesempatan seperti ini tidak bisa aku lewatkan begitu saja.” gumamnya pelan.

“Kau bilang apa?”

“Huh? Tidak, tidak.”

Mereka berdua tiba di meja makan. Di atas meja sudah disiapkan berbagai macam menu makanan yang dimasak Min-Ah dibantu oleh Bibi Jang, pembantu rumah tangga yang selama ini dipercaya Tuan Byun untuk menemani keseharian Sulli.

Baru saja Sulli dan Min-Ah akan memulai kegiatan makan mereka, Bibi Jang datang membawa kabar mengejutkan. Seseorang menunggu Sulli untuk bicara dari Jerman, Tuan Choi datang menelpon hari itu.

“Ayah menelpon?” Sulli tidak percaya.

“Iya, Nona.”

Sulli melirik Min-Ah. Wanita paruh baya itu menganggung mantap.

Hubungan Sulli dan ayah kandungnya, Choi Jinhyuk, memang tidak seharmonis dulu. Mereka memang tidak pernah harmonis sejak awal, ketika ibu kandung Sulli masih hidup. Pekerjaan Jinhyuk selalu menuntutnya untuk tetap berada di kantor. Ia jarang pulang ke rumah, jarang bertatap muka dengan anak perempuan pertamanya.

Setelah istri pertamanya meninggal, keadaan masih tidak berubah sesuai keinginannya. Sampai ia menikah untuk yang kedua kalinya pun, tidak ada yang berubah. Sulli pun tidak berusaha keras untuk merubah keadaan. Ia dan ayahnya memang punya dunia yang berbeda dan ia menghargainya.

“Ayah…”

Akhirnya Sulli bersedia menerima telpon dari Jinhyuk. Gagang telpon itu diangkat kemudian ditempelkan pada daun telinganya oleh tangan gemetarnya.

Sulli merasa canggung. Ia tidak memiliki banyak waktu bicara dengan ayahnya. Dalam setahun, tidak pernah lebih dari lima kali Jinhyuk menelpon, tidak lebih dari sepuluh menit mereka bicara dan ia tidak pernah menuntut lebih.

“Sulli, apa itu kau?” tanya pria diujung telpon.

Lapisan air itu kembali mengisi ruang di matanya. Matanya berembun secara tiba-tiba, mendadak tanpa sebuah persiapan yang matang. Suara serak Jinhyuk adalah penyebabnya. Entah sudah berapa lama ia tidak mendengarnya dan kini suara itu menyapanya, meleleh dengan cepat ketika masuk dalam telinga.

“Ya, ini aku.”

“Ini Ayah,” kata Jinhyuk. Nampaknya ia mencoba mengingatkan Sulli bahwa gadis belia itu masih punya ayah. Ya, Sulli memang hampir lupa kalau ayahnya masih hidup. “Bagaimana keadaanmu? Apa baik-baik saja?” tanyanya kemudian.

“Ya, aku baik-baik saja. Ayah sendiri bagaimana?”

“Ayah baik sekali.” Jinhyuk menjawab. Suaranya bertambah serak, juga agak melankolis. Sulli, tentu, tidak tahu kalau Jinhyuk sedang berusaha menahan haru saat itu juga. “Ayah dengar kau tidak bisa menari lagi, apa kau tidak apa-apa mengenai itu?”

Sulli menghela napasnya. Rasanya sangat lega mendengar bahwa ayahnya dalam keadaan sehat. Tapi tidak lama, ia terpaksa menahan napasnya lagi. Apa yang harus dikatakan pada ayahnya? Bagaimana agar membuatnya tidak kecewa?

“Tidak apa-apa. Seorang teman mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja, Ibu juga ada disini untuk membantu.”

“Temanmu itu benar. Semua ini akan berlalu secepatnya, kau tidak usah cemas. Mungkin memang tidak mudah tapi kau memiliki banyak orang yang menyayangimu, mereka akan senantiasa membantu. Mereka tidak akan meninggalkanmu, percayalah itu.” katanya, mencoba menghibur.

“Hm, iya.”

Setelah itu hening panjang menyambut mereka. Sulli menggigit bibir, air matanya sudah menunggu untuk terjun bebas. Ayahnya berkata benar dan ia terharu karena ternyata ayahnya masih perduli padanya. Di tempat lain, Jinhyuk sudah menyeka air matanya untuk kesekian kali. Ia merindukan Sulli, anak perempuannya, dan sungguh isayangkan mereka dipersatukan kembali melalui kabar buruk ini.

“Maafkan Ayah…”

Kemudian lapisan air tadi tumpah ruah. Kerinduan itu menyerang seluruh persediaan Sulli hingga ingin rasanya ia jatuh terkulai. Dan kata maaf itu menjadi puncaknya.

“Ayah tidak bisa datang kesana untuk menghiburmu. Ayah tidak bisa melindungimu. Aku gagal menjaga pesan dari mendiang Ibumu, maafkan Ayah.”

Keduanya mengharu biru. Baik Jinhyuk dan Sulli sama-sama menangis haru. Terpisah oleh ruang dan waktu, oleh samudera luas dan dataran hijau, kasih sayang antar sesama tidak pernah berkurang sedikit pun. Meski sulit untuk mengutarakannya karena canggung.

“Ibu pasti mengerti kalau ini bukan salah Ayah.”

“… Ayah merindukanmu, Nak.”

“Aku juga.”

Tetes demi tetes air mata itu perlahan menemui ujungnya. Akhirnya kerinduan itu tersampaikan. Walau tangan tak bisa menjabat, mata tak bisa bertemu, doa selalu menyertai mereka dalam setiap langkah.

 

-o-

 

Baekhyun melangkah tergesa-gesa menuju ruang tengah rumahnya. Pintu rumahnya diketuk secara barbar oleh seseorang yang ia kira adalah ibunya. Sementara itu kedua telapak tangannya aktif memisahkan kancing kemejanya yang saling bertautan.

“Tunggu sebentar,” Baekhyun melepas kemejanya kemudian melemparkannya keatas sofa. Ia meraih daun pintu, menarik pintu ke dalam dan terkejut melihat siapa yang datang.

“Annyeong…”

Sulli melambaikan kedua telapak tangannya dengan senyum ceria terbentuk sempurna di wajahnya. Desiran angin membelai tiap helai rambutnya. Dan sinar matahari siang itu yang keemasan membuat figurnya semakin bercahaya.

Mata Baekhyun melebar. Napasnya tercekat melihat gadis dengan gaun bermotif bunga warna biru itu berdiri didepan pintu rumahnya dengan pipi bersemu merah. Ia salah tingkah, terutama setelah tersadar kalau ia hanya memakai kaus tanpa lengan dan celana panjang seagam sekolah. Refleks, ia membanting pintu rumahnya.

“Tung- aakh!” tanpa sengaja, pintu itu menjepit jemari Sulli yang berhasil menyelip di sela-sela kecil.

Baekhyun membuka lagi pintu rumahnya, mendapati Sulli meringis kesakitan dengan tatapan mematikan yang ditujukan hanya padanya. Bibir gadis itu memanjang beberapa senti, warnanya merah, nyaris sama dengan ujung kukunya yang terjepit tadi.

“YA! Dasar bodoh!” Sulli memaki.

Tidak bisa membalas, Baekhyun lantas menggaruk tengkuk lehernya sambil memberi sengiran yang dipaksakan. “Mian,” katanya singkat.

Sulli menerobos masuk tanpa banyak bicara. Ia masih meringis sambil meniupi jemarinya kemudian duduk di sofa. Baekhyun mengikutinya dan duduk disampingnya untuk mengamati.

“Kau tidak mau bertanggungjawab?” Sulli menunjukkan telapak tangannya yang terluka tepat didepan wajah Baekhyun.

“Biar aku ambilkan obat, tunggu disini.” kemudian Baekhyun pergi, masih memakai kaus tanpa lengan yang memberi akses Sulli untuk melihat betapa kekar otot lengan yang ia sembunyikan dibalik pakaiannya selama ini.

Sulli menahan tawa. Pipinya bersemu merah setelah melihat Baekhyun dalam pakaian seadanya. Astaga, ia mulai berpikiran yang aneh-aneh.

Tidak lama kemudian Baekhyun kembali datang sambil membawa kotak obat dalam genggamannya. Ia meletakan kotak putih itu diatas meja, berlutut didepan Sulli kemudian meraih tangannya. Baekhyun mengambil jari telunjuk Sulli yang memerah kemudian meniupnya dengan lembut.

Entah kenapa, bagi Sulli, udara hangat yang keluar dari bibir Baekhyun terasa bak sengatan listrik yang membuat tulang-tulangnya tidak berdaya. Belum lagi secara tidak sengaja, jari telunjuknya bersenggolan dengan bibir Baekhyun. Jantungnya sudah meronta, ia tidak bisa menahan gejolak di dadanya lebih lama.

“Sudah selesai.” ujar Baekhyun setelah menempelkan plester luka pada Sulli. Sementara itu si lawan bicara hanya bisa melongo setelah dilumpuhkan oleh tingkah lakunya yang kelewat manis.

Kemudian Sulli menggelengkan kepalanya, menghilangkan lamunan singkatnya mengenai Baekhyun di hari yang terik ini. Tapi melihat Baekhyun dengan kaus tanpa lengan adalah kelemahan terbesarnya. Astaga.

“Apa yang kau lihat?” Baekhyun bangkit dan mengambil kemeja diatas sofa yang sempat terbengkalai tadi. Ia memakainya kembali.

“Um, tidak ada.” Sulli membuang muka. Pipinya memanas setelah ketahuan menatap Baekhyun.

Kini Sulli bisa bernapas sedikit lebih lega. Ia menyeka peluh di keningnya kemudian memanjakan matanya dengan mengelilingi dinding rumah Baekhyun yang dicat cokelat muda serta hiasan berupa bingkai foto berbagai ukuran dan bentuk.

Ada satu bingkai paling besar yang letaknya tidak pernah berubah sejak lama, yaitu bingkai berisi gambar Keluarga Byun ketika masih lengkap. Ada Baekhyun yang masih berusia lima belas tahun dalam foto itu, sebelah tangannya menggandeng lengan ibunya dan yang lain merangkul pundak ayahnya yang sudah duduk di kursi roda dengan latar belakang Pohon Oak yang tumbuh di pekarangan belakang rumah Keluarga Byun.

Sulli masih ingat kalau pada waktu itu ayahnya yang mengambil foto itu. Ia juga turut hadir dengan pakaian tradisional Korea karena mengira akan diajak berfoto bersama tapi nyatanya tidak. Kemudian ia menangis, dan sebagai gantinya ia bisa bebas berfoto bersama Baekhyun. Foto mereka berdua ada di sebelah foto keluarga itu, meski tidak dicetak sebesar foto keluarga, Sulli sudah senang melihat wajahnya tertera di dinding rumah Keluarga Byun.

“Mau apa datang ke rumahku?”

“Huh?”

Sulli mengalihkan pandangannya dari figura foto pada dinding. Ia menatap Baekhyun dengan tatapan bingung dan alis berkerut samar.

“Ada perlu apa datang kesini?” Baekhyun mengulang dengan bentuk kalimat yang berbeda.

“Oh itu…” Sulli menelan ludah sebelumnya. “Aku mau memintamu untuk mengajariku main musik.”

“Apa? Main musik?”

Sulli mengangguk. “Aku… akan pindah ke departemen seni musik.”

“Tunggu, apa aku tidak salah dengar?”

Sulli menggelengkan kepala. “Aku harus pindah departemen seandainya aku masih ingin bersekolah di sana dan aku sudah memilih seni musik, penilaiannya akan dilakukan tiga hari lagi, maka dari itu kau harus mengajariku.”

Untuk beberapa alasan tertentu, tentu Baekhyun senang mendengar berita itu. Tapi untuk alasan lain, ia merasa tidak percaya. Sulli tidak bisa main musik. Ia hanya bisa memainkan satu lagu dengan piano, setelah itu nihil.

“Aku tahu apa yang ada di pikiranmu. Iya, aku memang tidak bisa memainkan alat musik selain piano, itupun hanya satu lagu saja. Tapi aku punya tekad yang besar, aku pasti bisa cepat belajar, jadi tolong ajari aku!” Sulli merapatkan kedua tangannya, memohon pada Baekhyun dengan wajah paling memelas.

“Tapi, apa mungkin dalam tiga hari kau akan bisa bermain musik?”

“Pasti bisa.” Sulli menjawab keraguan Baekhyun. Ini semua demi kau, tambahnya dalam hati.

Baekhyun memijat pelipis kanannya, terlihat seperti sedang menimbang tawaran Sulli. Tentu saja ia akan mengajari gadis itu, ia hanya ingin menampilkan kesan kalau ia tidak semudah itu jatuh padanya.

“Boleh juga.” ia setuju pada akhirnya.

“Benarkah?” kemudian Baekhyun mengangguk. “Byun Baekhyun yang terbaik! Aku menyayangimu!” dan Sulli segera mengamit lengannya dengan hati berbunga-bunga.

“Sekarang lebih baik kau pulang dulu. Aku mau mandi, setelah itu aku akan datang ke rumahmu. Sebaiknya kau menyiapkan makanan yang banyak, mengerti?” Baekhyun terkekeh.

Sulli mengangkat lengan kirinya hingga menempel pada pelipis, membentuk ekspresi yang sama persis dengan prajurit yang baru saja diberi perintah. “Yes, Sir.” ia berseru.

Sesuai perintah, Sulli pun pergi. Ia melambaikan tangannya sebelum menutup pintu kediaman Byun.

Hatinya berbunga-bunga. Rasanya tidak sabar untuk berada satu kelas dengan Baekhyun mulai minggu depan. Ya, ia memang memiliki kepercayaan diri yang besar dan tidak pernah memikirkan kegagalan. Tapi kemudian bunga-bunga di hatinya layu seketika ketika melihat siapa yang berdiri didepan pekarangan rumahnya.

“Park Chanyeol?”

Pemuda itu mengangkat lengannya kemudian melambai. Tubuh tingginya masih dibalut oleh seragam kebanggaan sekolah mereka. Dan nilai ketampanannya bertambah setelah ia mengecat rambutnya menjadi hitam.

Sulli berhenti sebelum sampai di pekarangan rumahnya. Angin tiba-tiba bertiup, dan Chanyeol tersenyum. Jarak diantara mereka kurang lebih dua meter ketika Chanyeol mulai mengangkat kaki dan mendekat ke arahnya.

Jarak mereka semakin dekat. Sulli menahan napas, tiba-tiba aroma tubuh Chanyeol menyeruak bersama angin ke dalam paru-parunya. Harum dan kuat, tapi menyegarkan. Chanyeol berhenti tepat di depan mata Sulli dan membungkuk ke bawah hingga lututnya menyentuh tanah.

“Kau harus lebih berhati-hati. Bagaimana kalau kau menginjak kerikil ini, huh? Untung saja aku melihatnya.”

“Huh?”

Sulli mengikuti kemana arah lengan Chanyeol bergerak. Ternyata pemuda itu menyingkirkan sebuah kerikil yang berada tepat di ujung kakinya.

“Dasar ceroboh!” Chanyeol kembali ke posisinya semula dan mengacak-acak rambut Sulli pelan.

Park Chanyeol, si antagonis itu sejak kapan jadi semanis ini?

 

-o-

 

Baekhyun menopang dagu. Giginya mengunyah keripik kentang yang disajikan Bibi Jang beberapa menit lalu. Ia menyesali diri. Seharusnya ia tidak perlu mandi tadi, atau setidaknya tidak mandi terlalu lama. Ini memang salahnya tapi bagaimana ia bisa tahu kalau Park Chanyeol juga ada di rumah Sulli.

Pemuda bersuara berat itu kini sedang pamer keahliannya dalam memetik senar gitar. Entah dari mana gitar itu berasal karena setahunya satu-satunya alat musik yang bisa dimainkan di rumah Sulli hanyalah piano tua peninggalan mendiang ibunya.

“Kelihatannya mudah.” seru Sulli setelah Chanyeol memainkan sebuah lagu berdurasi tiga menit.

“Memang. Kau bisa mencobanya kalau kau mau,”

Sulli memandang gitar akustik dalam rengkuhan Chanyeol dengan bimbang. Tak lama ia berujar, “Tidak mau, nanti kuku-kuku cantikku rusak.”

Seulas senyum terbentuk di wajah Baekhyun. Kegiatan mengunyah keripik ia hentikan sejenak, ia menghampiri Sulli dan Chanyeol lalu menyumbangkan pendapatnya, “Benar sekali. Memetik senar gitar memang bisa membuat kukumu rusak, jadi saranku kau tidak perlu belajar main gitar,”

Chanyeol menarik salah satu ujung bibirnya. Ia tidak membalas serangan Baekhyun.

“Lebih baik kau belajar main piano saja. Tidak akan membuat kukumu rusak.” tambahnya.

Sulli mengangguk cepat, semangatnya berkobar. Baekhyun meraih pergelangan tangannya dan menuntunnya menuju piano hitam mengkilap di sudut ruang tengah.

Kini giliran Chanyeol yang duduk menopang dagu sambil mengunyah keripik kentang. Dengan dua matanya, ia melihat Sulli sangat bersemangat dalam mempelajari piano. Dari situ Chanyeol tahu bahwa ia sangat ingin lolos seleksi untuk bisa masuk departemen musik.

“Semoga kau berhasil.” gumam Chanyeol, pelan.

Meski besar harapannya agar Sulli tidak lolos seleksi. Dengan begitu ia bisa punya alasan untuk bertemu dengannya setiap hari tapi tidak apa jika memang takdir berkata lain. Seperti katanya sewaktu di rumah sakit, ia akan selalu membantu Sulli.

Tiba-tiba Chanyeol teringat sesuatu. Kotak kardus yang dilihatnya didepan pekarangan rumah Sulli tadi, jika benar dugaannya, berisi pakaian dan sepatu ballet Sulli. Sulli pasti dengan berat hati membuangnya. Apalagi benda-benda itu mungkin adalah benda kesayangannya.

“Lalu aku harus bagaimana? Jadi tuts hitam ini atau yang ini yang harus aku tekan? Ahh bagaimana ini?” keluh Sulli disaat yang sama.

“Yang ini,” jawab Baekhyun. “Do, re, mi, do, mi, do, mi, begitu.” dengan penuh kesabaran ia mengajari Sulli.

“Oh. Ternyata tidak sulit ya.” Sulli terkekeh kemudian dentingan piano itu mengalun merdu memenuhi ruangan.

Chanyeol tersenyum singkat. Bersyukur karena Sulli tidak lama berlarut-larut dalam kesedihannya.

 

-o-

 

Waktu bergulir dengan cepat. Hari silih berganti. Sepekan telah berlalu setelah Sulli menyadari kalau ballet tidak lagi menjadi tujuan akhirnya. Meski begitu ia telah menentukan tujuan akhirnya yang baru, yaitu musik.

“Aku ingin bermain musik, maka dari itu aku memilih untuk pindah ke departemen musik.” jawab Sulli setelah ditanya mengenai alasan kepindahannya.

Hari ini adalah hari dimana mimpinya kembali dipertaruhkan. Hari ini kemampuannya tentang musik akan diuji dan jika ia lolos, keinginannya untuk berada makin dekat dengan Baekhyun akan terwujud.

“Seperti yang kalian tahu, aku sudah tidak bisa menari lagi. Kakiku terluka, cidera. Tapi aku masih ingin bersekolah disini, aku masih punya mimpi lain, yaitu… musik.”

Jantung Sulli berdegup cepat. Ia menatap empat orang juri yang duduk berderet didepannya. Dua orang diantaranya adalah guru musik, satu orang lainnya adalah guru vokal dan orang terakhir adalah Song Qian, guru pembimbingnya selama ini.

Telapak tangannya dibanjiri keringat, bibirnya tiba-tiba kering dan kepalanya terserang pening.

“Apa kau sudah melupakan ballet? Sepertinya sepekan bukan waktu yang lama untuk melupakan semua tentang ballet, benar kan?” tanya wanita paruh baya berkebangsaan Italy yang Sulli kenal sebagai salah satu panitia acara ulang tahun sekolah waktu itu.

“Aku tidak mungkin melupakan ballet. Aku mengenalnya lebih dari separuh usiaku dan mendalaminya hingga aku tidak bisa melakukan hal lain selain ballet tapi,” Sulli menghela napas sejenak. “Seseorang mengatakan kalau di dunia ini ada banyak hal menyenangkan selain ballet dan aku ingin mencobanya… Ballet akan jadi sebuah memori yang tidak mungkin aku lupakan.”

Park Chanyeol yang mengatakannya. Dan Sulli memberi garis bawah ditiap kata yang diucapkannya.

Song Qian tersenyum bangga pada murid kesayangannya. Guru-guru lain pun merasa puas dengan jawaban gadis belia itu hingga terukir senyum pada wajah mereka, kecuali wanita berkebangsaan Italy tadi.

“Baiklah, mari kita mulai! Kau bisa tunjukan keahlianmu sekarang!” ujar seorang pria berkepala plontos.

Sulli mengangguk.

Tapi ketika ia duduk dan jari jemarinya menyentuh dinginnya tuts piano didepannya, mendadak seluruh ilmu yang dipelajarinya secara singkat itu lenyap tanpa bekas. Ia tidak tahu mana yang harus ditekan agar mengeluarkan suara merdu.

Bahkan satu-satunya lagu yang ia hapal pasti, ia juga tidak bisa mengingatnya dengan baik. Napasnya tercekat. Keraguan memenuhi benaknya. Mungkin Min-Ah benar bahwa ia tidak bisa main musik. Dan mungkin ia terlalu memaksakan diri.

“Kau bisa mulai bermain sekarang, Sulli.” Qian angkat bicara.

Sulli menoleh ke belakang, ke arah Qian. Wajahnya pasti sudah pucat pasi sekarang. “Hm, ya.” katanya pelan, nyaris tidak terdengar.

Detik demi detik berlalu. Jemari Sulli makin dingin dan kaku padahal ruangan itu tidak memiliki pendingin udara. Piano didepannya seakan bergerak mundur, menjauh darinya karena tidak sudi disentuh olehnya. Sulli juga tidak berusaha untuk menggapainya karena yakin lengannya tak akan sampai.

“Kau tidak boleh menyerah. Ada jutaan orang diluar sana yang juga tidak bisa menggapai mimpinya tapi mereka bangkit dan membuat mimpi baru. Kau pun sama, buatlah mimpi yang baru…”

Kata-kata itu terngiang di telinganya. Ia telah mencobanya. Ia sudah bangkit dan mencoba membuat mimpi yang baru tapi pertanyaannya sekarang… apakah benar musik adalah mimpinya?

Kemudian jika iya, mengapa ia tidak yakin sekarang? Mengapa tiba-tiba ia takut? Bahkan bayangan untuk menghabiskan banyak waktu bersama Baekhyun tidak bisa menyisihkan keraguannya itu.

Mendadak dadanya dipenuhi sesak. Bagaikan ikan yang terdampar di daratan, ia mencari udara untuk bernapas. Jika saja Qian tidak menegurnya, ia mungkin sudah roboh dari kursi yang didudukinya.

“Sulli, apa kau baik-baik saja?”

Sulli kembali menoleh pada Qian. Wanita itu cemas sekali padanya, nampak jelas melalui garis-garis wajahnya yang menegang.

“Ya…” jawab Sulli. “Maksudku tidak.” dan kepalanya tertunduk ke bawah.

Bukan musik.

Ia tidak ingin bermain musik.

Sulli sudah salah. Ia terlalu gegabah dalam mengambil keputusan. Ia tidak memikirkannya dengan matang. Tapi bukankah tidak pernah ada kata terlambat? Bukankah Lebih baik menyadari kesalahannya sekarang daripada nanti?

.

Pemuda-pemuda tampan itu duduk resah di luar ruangan. Menunggu memang bukan kegiatan yang menyenangkan. Detik demi detik berlalu bagaikan neraka, sungguh menyiksa.

“Kenapa lama sekali?” Baekhyun mengoceh sendiri.

“Dia baru masuk lima menit yang lalu, bersabarlah!” saran Chanyeol. Ia jauh lebih santai ketimbang Baekhyun yang mondar-mandir didepan pintu tiada henti.

“Bagaimana kalau dia lupa apa yang aku ajarkan? Dia pasti ingat kan? Iya, dia pasti ingat, Sulli bukan murid yang bodoh.” Baekhyun tidak bisa berhenti bicara.

Chanyeol tertawa. “Apa kau selalu mencemaskannya seperti ini? Apa kau tidak bisa percaya padanya?” Ya, dapat dipastikan kalau suara tawa itu menyimpan nada mengejek.

Mata Baekhyun menyipit. Ia menatap Chanyeol dengan tidak suka. Pemuda itu memang sudah ia duga akan membuatnya jengkel sejak pertama sekali bertemu. Dan benar saja, pemuda itu selalu bersikap seolah ia lebih mengenal Sulli dengan baik ketimbang dirinya.

“Aku percaya padanya…”

Kepala Chanyeol terarah pada Baekhyun. Tawanya menguap di udara. Suara Baekhyun yang serius membawa mereka ke percakapan antar lelaki dewasa.

“Lalu kenapa kejadian tempo hari bisa terjadi? Asal kau tahu saja, semua itu berasal dari ketidakpercayaanmu padanya,”

Baekhyun mengepalkan tangannya. Api dalam dirinya menyala, membakarnya tanpa ampun.

“Aku memang belum lama ini mengenalnya, tentu tidak bisa dibandingkan denganmu yang mengaku mengenalnya sejak lahir tapi aku heran… aku heran kenapa aku lebih mengerti dia dibanding kau. Aku mempercayainya sepenuh hati bahkan seandainya Sulli mengatakan bahwa bulan itu persegi, aku akan setuju dengannya.”

“Aku percaya padanya!” ulang Baekhyun dengan meninggikan suaranya.

Chanyeol menyeringai. “Lalu kenapa semua bisa terjadi? Jika kau percaya padanya lalu kenapa kau masih menyalahkannya hari itu? Ah, aku tahu. Itu karena sikap sok pahlawanmu itu! Kau selalu menganggap dirimu pahlawan, sok bijaksana. Apa kau ingin membela yang lemah agar bisa dibilang hebat? Supaya mereka kagum padamu?”

“Hentikan!”

Teriakan itu mengalihkan perhatian dua kepala yang tengah panas itu. Yura hadir diantara mereka dengan ekspresi jengah sementara dua pemuda dihadapannya sudah bersiap untuk saling meninju wajah lawan mereka.

Pintu tiba-tiba terbuka. Lagi-lagi, perhatian mereka berhasil teralihkan. Tapi kali ini oleh gadis yang berbeda.

“Sulli,” Baekhyun menyapanya lebih dulu, suaranya melemah. “Bagaimana? Apa semuanya berjalan lancar? Apa kau lolos seleksi?” ia langsung memberondong Sulli dengan berbagai macam pertanyaan.

Sulli menghela napas panjang. Wajahnya lusuh dan sedikit pucat. Ia menatap Baekhyun dengan nanar kemudian menggeleng. “Aku menghancurkannya.” jawabnya singkat.

“Kau tidak lolos seleksi?” Baekhyun menduga-duga.

“Apa itu berarti kau akan masuk departemen seni peran?” Chanyeol menimpali, terselip nada antusias didalam kalimatnya.

Sulli mengangkat kepalanya, hendak melihat Chanyeol tapi kemudian ia terhenyak begitu melihat sosok perempuan lain diantara mereka. Yura ada disana, dan segera memalingkan wajahnya begitu iris Sulli menangkapnya.

“Aku mau pulang.” kata Sulli tanpa melepas Yura dari pandangannya.

Chanyeol ikut menatap Yura. Gadis itu menunjukan betapa ia merasa tidak nyaman berada disana hanya dengan caranya mengedipkan matanya. Chanyeol pun menarik kakinya agar selangkah lebih dekat dengan Yura.

“Ayo kita pulang!” ajak Baekhyun.

“Ya, sebaiknya aku cepat-cepat pergi dari sini.” timpal Sulli agak ketus.

“Berhati-hatilah! Sampai bertemu besok.” Chanyeol menambahkan.

Pertemuan mereka berakhir pada detik itu juga. Baekhyun dan Sulli lebih dulu pergi, sementara Chanyeol dan Yura menetap disana ditemani oleh hening berkepanjangan.

“Tunggu!” Yura berbalik dan hendak mengejar Baekhyun dan Sulli yang sudah lebih dulu hilang dari sana tapi Chanyeol, dengan sigap, menahan pergelangan tangannya.

“Ikut aku!”

“Tidak. Lepaskan!” Yura berontak.

Tapi Chanyeol memiliki kekuatan berkali lipat lebih besar darinya. Dengan mudah ia menyeret Yura ke halaman belakang sekolah. Chanyeol melepasnya ketika mereka tiba disana dan pergelangan tangan Yura memerah, darahnya seakan berhenti disana karena Chanyeol memegangnya terlalu kuat.

“Mengapa kau membawaku kesini? Harusnya kau biarkan aku mengejar mereka! Aku harus menjelaskan semuanya!” Yura memarahi Chanyeol.

“Menjelaskan apa? Menjelaskan kalau kau berbohong dan tanpa sengaja membuat Sulli kehilangan kemampuan balletnya?” Chanyeol tak mau kalah.

Napas Yura berpacu dengan detak jantungnya. Ia marah, kacau, setengah frustasi yang pasti.

Chanyeol menghela napas panjang dengan mata terpejam beberapa saat. Emosi tidak bisa dibalas dengan emosi, itu yang dipikirkannya. Maka ia berusaha bicara lebih lembut pada Yura, “Ada kalanya sebuah rahasia akan tetap menjadi rahasia. Yura, jangan beritahu siapapun tentang kebohonganmu!”

“Apa katamu?”

“Sudah tidak ada artinya. Sekalipun kau beritahu mereka tentang kebenarannya, tidak akan ada yang berubah. Sulli tidak akan mendapat kemampuannya kembali dan dia… dia akan tetap membencimu.”

Yura hanya mampu mengerjapkan matanya. Haruskah ia mengikuti saran Chanyeol? Tapi ia hampir gila setelah dihantui rasa bersalah. Ia ingin hidup tenang meski ia harus mengambil resiko terberat, yaitu dibenci Sulli.

“Tidak, aku harus mengatakannya,”

“Kumohon jangan egois…” Chanyeol lirih. “Sulli tengah berusaha untuk bangkit kembali setelah susah payah menerima kenyataan ini. Dengan penjelasanmu, dia akan terluka kembali. Aku tahu kau tidak bisa tenang, tapi biarkan Sulli tetap begini hingga keadaannya lebih baik. Anggaplah rasa bersalahmu itu sebagai hukuman atas kebohonganmu,”

Yura bungkam. Air matanya tertahan. Ia menundukan kepala, menatap ujung sepatunya seraya mencermati nasehat Chanyeol.

“Maaf, kali ini aku tidak bisa membantumu tapi sebaiknya kau tidak usah memikirkannya lagi. Kau juga harus bangkit dari masalah ini, seperti Sulli.” tambah Chanyeol kemudian. Telapak tangannya menyentuh pundak Yura, menepuknya pelan dan lembut.

Yura mengangkat kepala, menatap nanar pemuda dihadapannya. Chanyeol memberinya sebuah senyum hangat dengan sorot mata teduh. Untuk beberapa saat, Yura seakan berjalan mundur ke waktu dimana ia dan Chanyeol selalu saling menyapa, dimana mereka tidak sungkan makan bersama dan mengobrol di koridor sekolah. Ia bernostalgia ke tiga tahun lalu, ketika mereka masih duduk di bangku SMP.

“Mari kuantar pulang!” Chanyeol menggenggam tangan Yura dan mulai menapaki jalan pulang.

Dibelakangnya, Yura mengikuti. Inilah pertama kalinya ia kembali melunak pada Park Chanyeol setelah berjuang keras melupakannya dan mengubur kenangan mereka.

 

to be continued…

 

—–

Hallo ^^

Maaf nih agak terlambat update-nya. Dan aku harap chapter ini gak mengecewakan kalian 🙂

Dan seperti yang kalian tau, ada berita besar kemarin dan itu sedikit banyak mempengaruhi aku 😥 jadi aku mohon kesabarannya lagi untuk next chapter soalnya aku agak ilang feeling buat nulis tapi semoga ya aku cepet move on 🙂

8 pemikiran pada “The Antagonist [Chapter 6]

  1. tiba tiba pengen cerita ini endingnya jadi chanlli aja thor~ wkwkwkw

    tapi all out aku suka sama chapter ini… kira kira apa yang terjadi sama sulli di dalam ruang audisi? jadi dia masuk departemen apa ? wkwkwk

    semangat thor 🙂

  2. Entag kenapa aku juga pengen endingnya jadi chanlli..gegara berita besar itu.#abaikan.tapi sullbaek masih suka siihh

    Tapi menurutku ini bagus kok..
    Hwaiting authornim..
    Semga cepet dapet inspirasi buat next chap nya..

  3. K sbnrnya ga pngen bc ff yg castnya baekhyun.. trlnjur skit hti.. tp brhbung ini ff favorite aku,k ga bs ninggalin bgtu aja 🙂
    Keep writing authornim !!

  4. aku suka sama karakternya Chanyeol disini. karena dia yang paling terlihat dewasa, dan yang paling pengertian. dia juga bisa baca situasi.. mungkin karena dia anak seni peran kali ya?! hoho.
    dan entah kenapa aku jadi lebih suka chanli XD
    aku suka ceritanya♡ tentang pemeran protagonis yang ga akan menjadi protagonis tanpa adanya pemeran antagonis. karena ga akan ada orang baik tanpa kehadiran orang jahat 🙂 next dulu ah~ *kemudian kabur* XD

Tinggalkan komentar